Selasa, 19 Oktober 2010
Jumat, 15 Oktober 2010
teori untuk belajar
TEORI BELAJAR
oleh : dedy
A. PENDAHULUAN
Teori belajar merupakan upaya untuk mendeskripsikan bagaimana manusia
belajar, sehingga membantu kita semua memahami proses inhern yang kompleks dari
belajar. Ada tiga perspektif utama dalam teori belajar, yaitu Behaviorisme, Kognitivisme,
dan Konstruktivisme. Pada dasarnya teori pertama dilengkapi oleh teori kedua dan
seterusnya, sehingga ada varian, gagasan utama, ataupun tokoh yang tidak dapat
dimasukkan dengan jelas termasuk yang mana, atau bahkan menjadi teori tersendiri.
Namun hal ini tidak perlu kita perdebatkan. Yang lebih penting untuk kita pahami adalah
teori mana yang baik untuk diterapkan pada kawasan tertentu, dan teori mana yang sesuai
untuk kawasan lainnya. Pemahaman semacam ini penting untuk dapat meningkatkan
kualitas pembelajaran.
B. BEHAVIORISME
Behaviorisme dari kata behave yang berarti berperilaku dan isme berarti aliran.
Behavorisme merupakan pendekatan dalam psikologi yang didasarkan atas proposisi
(gagasan awal) bahwa perilaku dapat dipelajari dan dijelaskan secara ilmiah. Dalam
melakukan penelitian, behavioris tidak mempelajari keadaan mental.
Jadi, karakteristik esensial dari pendekatan behaviorisme terhadap belajar adalah
pemahaman terhadap kejadian-kejadian di lingkungan untuk memprediksi perilaku
seseorang, bukan pikiran, perasaan, ataupun kejadian internal lain dalam diri orang
tersebut. Fokus behaviorisme adalah respons terhadap berbagai tipe stimulus.
Para tokoh yang memberikan pengaruh kuat pada aliran ini adalah Ivan Pavlov
dengan teorinya yang disebut classical conditioning, John B. Watson yang dijuluki
behavioris S-R (Stimulus-Respons), Edward Thorndike (dengan teorinya Law of Efect),
dan B.F. Skinner dengan teorinya yang disebut operant conditioning.
1Fajar S / mahasiswa pgsd uns
1. Teori Pengkondisian Klasik Ivan Pavlov
Ivan Petrovich Pavlov adalah orang Rusia. Ia menemukan Classical Conditioning
di dekade 1890-an. Namun karena pada saat itu negerinya tertutup dari dunia barat,
bukunya dalam edisi bahasa Inggris Conditioned Reflexes: An Investigation of the
Physiological Activity of the Cerebral Cortex baru bisa diterbitkan tahun 1927. Teorinya
disebut klasik karena kemudian muncul teori conditioning yang lebih baru. Ada pula
yang menyebut teorinya sebagai learned reflexes atau refleks karena latihan, untuk
membedakan teorinya dengan teori pengkondisian disadari-nya Skinner.
a. Percobaan Pavlov
Pengkondisian Klasik atau Classical conditioning ditemukan secara kebetulan
oleh Pavlov di dekade 1890-an. Saat itu Pavlov sedang mempelajari bagaimana air liur
membantu proses pencernaan makanan. Kegiatannya antara lain memberi makan anjing
eksperimen dan mengukur volume produksi air liur anjing tersebut di waktu makan.
Setelah anjing tersebut melalui prosedur yang sama beberapa kali, ternyata mulai
mengeluarkan air liur sebelum menerima makanan. Pavlov menyimpulkan bahwa
beberapa stimulus baru seperti pakaian peneliti yang serba putih, telah diasosiasikan oleh
anjing tersebut dengan makanan sehingga menimbulkan respons keluarnya air liur.
Proses conditioning biasanya mengikuti prosedur umum yang sama. Misalkan
seorang pakar psikologi ingin mengkondisikan seekor anjing untuk mengeluarkan air liur
ketika mendengar bunyi lonceng. Sebelum conditioning, stimulus tanpa pengkondisian
(makanan dalam mulut) secara otomatis menghasilkan respons tanpa pengkondisian
(mengeluarkan air liur) dari anjing tersebut. Selama pengkondisian, peneliti
membunyikan lonceng dan kemudian memberikan makanan pada anjing tersebut. Bunyi
lonceng tersebut disebut stimulus netral karena pada awalnya tidak menyebabkan anjing
tersebut mengeluarkan air liur. Namun, setelah peneliti mengulang-ulang asosiasi bunyi
lonceng-makanan, bunyi lonceng tanpa disertai makanan akhirnya menyebabkan anjing
tersebut mengeluarkan air liur. Anjing tersebut telah belajar mengasosiasikan bunyi
lonceng dengan makanan. Bunyi lonceng menjadi stimulus dengan pengkondisian, dan
keluarnya air liur anjing disebut respons dengan pengkondisian.
2Fajar S / mahasiswa pgsd uns
b. Prinsip-prinsip Pengkondisian Klasik Pavlov
Menindaklanjuti temuannya sebelumnya, Pavlov dan koleganya berhasil
mengidentifikasi empat proses: acquisition (akuisisi/fase dengan pengkondisian),
extinction (eliminasi/fase tanpa pengkondisian), generalization (generalisasi), dan
discrimination (diskriminasi).
1) Fase Akuisisi
Fase akuisisi merupakan fase belajar permulaan dari respons kondisi—sebagai
contoh, anjing ‘belajar’ mengeluarkan air liur karena pengkondisian suara lonceng.
Beberapa faktor dapat mempengaruhi kecepatan conditioning selama fase akuisisi. Faktor
yang paling penting adalah urutan dan waktu stimuli. Conditioning terjadi paling cepat
ketika stimulus kondisi (suara lonceng) mendahului stimulus utama (makanan) dengan
selang waktu setengah detik. Conditioning memerlukan waktu lebih lama dan respons
yang terjadi lebih lemah bila dilakukan penundaan yang lama antara pemberian stimulus
kondisi dengan stimulus utama. Jika stimulus kondisi mengikuti stimulus utama—sebagai
contoh, jika anjing menerima makanan sebelum lonceng berbunyi—conditioning jarang
terjadi.
2) Fase Eliminasi
Sekali telah dipelajari, suatu respons dengan kondisi tidaklah diperlukan secara
permanen. Istilah extinction (eliminasi) digunakan untuk menjelaskan eliminasi respons
kondisi dengan mengulang-ulang stimulus kondisi tanpa stimulus utama. Jika seekor
anjing telah ‘belajar’ mengeluarkan air liur karena adanya suara lonceng, peneliti dapat
secara berangsur-angsur menghilangkan stimulus utama dengan mengulang-ulang bunyi
lonceng tanpa memberikan makanan sesudahnya.
3) Generalisasi
Setelah seekor hewan telah ‘belajar’ respons kondisi dengan satu stimulus, ada
kemungkinan juga ia merespons stimuli yang sama tanpa latihan lanjutan. Jika seorang
anak digigit oleh seekor anjing hitam besar, anak tersebut bukan hanya takut kepada
3Fajar S / mahasiswa pgsd uns
anjing tersebut, namun juga takut kepada anjing yang lebih besar. Fenomena ini disebut
generalisasi. Stimuli yang kurang intens biasanya menyebabkan generalisasi yang kurang
intens. Sebagai contoh, anak tersebut ketakutannya menjadi berkurang terhadap anjing
yang lebih kecil.
4) Diskriminasi
Kebalikan dari generalisasi adalah diskriminasi, yaitu ketika seorang individu
belajar menghasilkan respons kondisi pada satu stimulus namun tidak dari stimulus yang
sama namun kondisinya berbeda. Sebagai contoh, seorang anak memperlihatkan respons
takut pada anjing galak yang bebas, namun mungkin memperlihatkan rasa tidak takut
ketika seekor anjing galak diikat atau terkurung dalam kandang.
2. Teori Stimulus-Respons John Watson
Pada tahun 1919, pakar psikologi berkebangsaan AS, J.B. Watson dalam bukunya
Psychology from the Standpoint of a Behaviorist mengkritisi metode introspektif dalam
pakar psikologi yaitu metode yang hanya memusatkan perhatian pada perilaku yang ada
atau berasal dari nilai-nilai dalam diri pakar psikologi itu sendiri.
Watson berprinsip hanya menggunakan eksperimen sebagai metode untuk
mempelajari kesadaran. Watson mempelajari penyesuaian organisme terhadap
lingkungannya, khususnya stimuli khusus yang menyebabkan organisme tersebut
memberikan respons. Kebanyakan dari karya-karya Watson adalah komparatif yaitu
membandingkan perilaku berbagai binatang. Karya-karyanya sangat dipengaruhi karya
Ivan Pavlov. Namun pendekatan Watson lebih menekankan pada peran stimuli dalam
menghasilkan respons karena pengkondisian, mengasimilasikan sebagian besar atau
seluruh fungsi dari refleks. Karena itulah, Watson dijuluki sebagai pakar psikologi S - R
(stimulus-response).
a. Percobaan John Watson
Pada dasarnya Watson melanjutkan penelitian Pavlov. Dalam percobaannya,
Watson ingin menerapkan classical conditioning pada reaksi emosional. Hal ini didasari
4Fajar S / mahasiswa pgsd uns
atas keyakinannya bahwa personalitas seseorang berkembang melalui pengkondisian
berbagai refleks.
Dalam suatu percobaan yang kontroversial di tahun 1921, Watson dan asisten
risetnya Rosalie Rayner melakukan eksperimen terhadap seorang balita bernama Albert.
Pada awal eksperimen, balita tersebut tidak takut terhadap tikus. Ketika balita memegang
tikus, Watson mengeluarkan suara dengan tiba-tiba dan keras. Balita menjadi takut
dengan suara yang tiba-tiba dan keras sekaligus takut terhadap tikus. Akhirnya, tanpa ada
suara keras sekalipun, balita menjadi takut terhadap tikus.
b. Kesimpulan Watson.
Meskipun eksperimen Watson dan rekannya secara etika dipertanyakan, hasilnya
menunjukkan untuk pertamakalinya bahwa manusia dapat ‘belajar’ takut terhadap stimuli
yang sesungguhnya tidak menakutkan. Namun ketika stimuli tersebut berasosiasi dengan
pengalaman yang tidak menyenangkan, ternyata menjadi menakutkan. Eksperimen
tersebut juga menunjukkan bahwa classical conditioning mengakibatkan beberapa kasus
fobia (rasa takut), yaitu ketakutan yang yang tidak rasional dan berlebihan terhadap
objek-objek tertentu atau situasi-situasi tertentu. Pakar psikologi sekarang dapat
memahami bahwa classical conditioning dapat menjelaskan beberapa respons emosional
—seperti kebahagiaan, kesukaan, kemarahan, dan kecemasan—yaitu karena orang
tersebut mengalami stimuli khusus. Sebagai contoh, seorang anak yang memiliki
pengalaman menyenangkan dengan roller coaster kemungkinan belajar merasakan
kesenangan justru karena melihat bentuk roller coaster tersebut. Bagi seorang dewasa
yang menemukan sepucuk surat dari teman dekat di dalam kotak surat, hanya dengan
melihat alamat pengirim yang tertera di sampul surat kemungkinan menimbulkan
perasaan senang dan hangatnya persahabatan.
Pakar psikologi menggunakan prosedur classical conditioning untuk merawat
fobia (rasa takut) dan perilaku yang tidak diinginkan lainnya seperti kecanduan alkohol
dan psikotropika. Untuk merawat fobia terhadap objek-objek tertentu, pakar psikologi
melakukan terapi dengan menghadirkan objek yang ditakuti oleh penderita secara
berangsur-angsur dan berulang-ulang ketika penderita dalam suasana santai. Melalui fase
eliminasi (eliminasi stimulus kondisi), penderita akan kehilangan rasa takutnya terhadap
5Fajar S / mahasiswa pgsd uns
objek tersebut. Dalam memberikan perawatan untuk pecandu alkohol, penderita
meminum minuman beralkohol dan kemudian menenggak minuman keras tersebut
sehingga menyebabkan rasa sakit di lambung. Akhirnya ia merasakan sakit lambung
begitu melihat atau mencium bau alkohol dan berhenti meminumnya. Keefektivan dari
terapi seperti ini sangat bervariasi bergantung individunya dan problematika yang
dihadapinya.
3. Hukum Efek dan Teori Koneksionisme Edward Thorndike
Edward Lee Thorndike adalah pakar psikologi yang menjadi dosen di Columbia
University AS. Dalam bukunya Animal Intelligence (1911) ia menyatakan tidak suka
pada pendapat bahwa hewan memecahkan masalah dengan nalurinya. Ia justru
berpendapat bahwa hewan juga memliki kecerdasan. Beberapa eksperimennya ditujukan
untuk mendukung gagasannya tersebut, yang kemudian ternyata merupakan awal
munculnya operant conditioning (pengkondisian yang disadari).
Prinsip yang dikembangkannya disebut hukum efek karena adanya konsekuensi
atau efek dari suatu perilaku. Sementara, teorinya disebut koneksionisme untuk
menunjukkan adanya koneksi (keterkaitan) antara stimuli tertentu dan perilaku yang
disadari.
a. Pecobaan Thorndike
Subjek riset Thorndike termasuk kucing, anjing, ikan, kera, dan anak ayam. Untuk
melihat bagaimana hewan belajar perilaku yang baru, Thorndike menggunakan ruangan
kecil yang ia sebut puzzle box (kotak teka-teki), dan jika hewan itu melakukan respons
yang benar (seperti menarik tali, mendorong tuas, atau mendaki tangga), pintu akan
terbuka dan hewan tersebut akan diberi hadiah makanan yang diletakkan tepat di luar
kotak.
Ketika pertama kali hewan memasuki kotak teka-teki, memerlukan waktu lama
untuk dapat memberi respons yang dibutuhkan agar pintu terbuka. Namun demikian,
pada akhirnya hewan tersebut dapat melakukan respons yang benar dan menerima
hadiahnya: lolos dan makanan.
6Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Ketika Thorndike memasukkan hewan yang sama ke kotak teka-teki secara
berulang-ulang, hewan tersebut akan melakukan respons yang benar semakin cepat.
Dalam waktu singkat, hewan-hewan tersebut hanya membutuhkan waktu beberapa detik
untuk lolos dan mendapatkan hadiah.
b. Kesimpulan Thorndike
Thorndike menggunakan 'kurva waktu belajar' tersebut untuk membuktikan
bahwa hewan tersebut bukan menggunakan nalurinya untuk dapat lolos dan mendapatkan
hadiah dari kotak, namun melalui proses trial and error (mencoba-salah-mencoba lagi
sampai benar).
Thorndike menjelaskan ada perbedaan yang jelas apakah hewan dalam
eksperimen tersebut agar dapat lolos dari kotak menggunakan naluri atau tidak. Caranya
yaitu dengan mencatat waktu yang digunakan hewan untuk dapat lolos. Logikanya, jika
hewan menggunakan naluri maka ia akan dapat langsung lolos begitu saja, sehingga
catatan waktunya tidak menunjukkan perubahan dari waktu ke waktu secara gradual yang
signifikan. Kenyataannya, hewan menggunakan cara yang biasa disebut trial and error
dengan bukti kurva waktu yang menurun secara gradual. Hal ini menunjukkan hewan
dapat 'belajar' secara gradual dan konsisten.
Didasarkan atas eksperimennya, Thorndike mengemukakan prinsip yang ia sebut
hukum efek. Hukum ini menyatakan bahwa perilaku yang diikuti kejadian yang
menyenangkan, lebih cenderung akan terjadi lagi di masa mendatang. Sebaliknya,
perilaku yang diikuti kejadian yang tidak menyenangkan akan memperlemah, sehingga
cenderung tidak terjadi lagi di masa mendatang.
Thorndike menginterpretasikan temuannya sebagai keterkaiatan. Ia menjelaskan
bahwa keterkaitan antara kotak dan gerakan yang digunakan hewan percobaan untuk
lolos 'diperkuat' setiap kali berhasil. Karena adanya keterkaitan ini, banyak yang
menyebut hukum efek Thorndike menjadi teori koneksionisme, yang oleh Skinner
dikembangkan lagi menjadi operant conditioning (pengkondisian yang disadari).
4. Pengkondisian Disadari B.F. Skinner
7Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Burrhus Frederic "B. F." Skinner adalah pakar psikologi yang lahir di pedesaan.
Bercita-cita menjadi seorang penulis fiksi, ia pernah secara intensif berlatih menulis.
Namun pada akhirnya ia menyadari bahwa dirinya tidak memiliki bakat tersebut. Pada
suatu saat secara kebetulan ia membaca buku yang mengulas tentang behaviorismenya
Watson. Ketertarikannya terhadap Psikologi pun berlanjut, sehingga ia memutuskan
untuk belajar Psikologi di Harvard University (AS) dan memperoleh gelar Ph.D. pada
tahun 1931. Setelah dua kali pindah mengajar di dua universitas, Ia kembali mengajar di
almamaternya hingga menjadi profesor di tahun 1948.
Skinner menjadi terkenal karena kepeloporannya melakukan riset terhadap belajar
dan perilaku. Selama 60 tahun karirnya, Skinner menemukan berbagai prinsip penting
dari operant conditioning, suatu tipe belajar yang melibatkan penguatan dan hukuman.
Sebagai seorang behavioris sejati, Skinner yakin bahwa operant conditioning dapat
menjelaskan bahkan perilaku manusia yang paling kompleks sekalipun. Pada
kenyataannya, Skinner lah memang yang pertama kali memberi istilah operant
conditioning.
Terkenalnya Skinner bukan hanya risetnya dengan binatang, tetapi juga
pengakuan kontroversialnya bahwa prinsip-prinsip belajar yang ia temukan dengan
menggunakan kotaknya juga dapat diterapkan untuk perilaku manusia dalam
kehidupannya sehari-hari.
a. Percobaan Skinner
Diawali di tahun 1930-an, Skinner menghabiskan waktu beberapa dasa warsa
mempelajari perilaku—kebanyakan tikus atau merpati—di dalam ruangan kecil yang
kemudian disebut kotak Skinner. Seperti kotak teka-teki Thorndike, kotak Skinner
berupa ruangan kosong tempat hewan dapat memperoleh makanan dengan melakukan
respons sederhana, seperti menekan atau memutar tuas. Sebuah alat yang diletakkan di
dalam kotak merekam semua yang dilakukan hewan tersebut. Kotak Skinner berbeda
dengan kotak teka-teki Thorndike dalam tiga hal: (1) dalam mengerjakan respons yang
diinginkan, hewan tersebut menerima makanan namun tidak keluar dari kotak; (2)
persediaan makanan di dalam kotak hanya cukup untuk setiap respons, sehingga penguat
hanya diberikan untuk satu sesi tes; dan (3) operant response (respons yang disadari)
Langganan:
Postingan (Atom)