Jumat, 15 Oktober 2010

teori untuk belajar

TEORI BELAJAR
oleh : dedy
A. PENDAHULUAN
Teori  belajar  merupakan  upaya  untuk  mendeskripsikan  bagaimana  manusia
belajar,  sehingga membantu kita semua memahami  proses inhern yang kompleks dari
belajar. Ada tiga perspektif utama dalam teori belajar, yaitu Behaviorisme, Kognitivisme,
dan  Konstruktivisme.  Pada  dasarnya  teori  pertama  dilengkapi  oleh  teori  kedua  dan
seterusnya,  sehingga  ada  varian,  gagasan  utama,  ataupun  tokoh  yang  tidak  dapat
dimasukkan dengan jelas  termasuk yang  mana,  atau bahkan menjadi  teori  tersendiri.
Namun hal ini tidak perlu kita perdebatkan. Yang lebih penting untuk kita pahami adalah
teori mana yang baik untuk diterapkan pada kawasan tertentu, dan teori mana yang sesuai
untuk kawasan lainnya.  Pemahaman semacam ini  penting untuk dapat  meningkatkan
kualitas pembelajaran.
B. BEHAVIORISME
Behaviorisme dari kata  behave yang berarti berperilaku dan isme berarti  aliran.
Behavorisme  merupakan  pendekatan  dalam psikologi  yang  didasarkan  atas  proposisi
(gagasan awal)  bahwa  perilaku  dapat  dipelajari  dan dijelaskan secara  ilmiah.  Dalam
melakukan penelitian, behavioris tidak mempelajari keadaan mental. 
Jadi, karakteristik esensial dari pendekatan behaviorisme terhadap belajar adalah
pemahaman  terhadap  kejadian-kejadian  di  lingkungan  untuk  memprediksi  perilaku
seseorang,  bukan  pikiran,  perasaan,  ataupun  kejadian  internal  lain  dalam diri  orang
tersebut. Fokus behaviorisme adalah respons terhadap berbagai tipe stimulus. 
Para tokoh yang memberikan pengaruh kuat pada aliran ini adalah Ivan Pavlov
dengan teorinya  yang disebut  classical  conditioning,   John B.  Watson yang dijuluki
behavioris S-R (Stimulus-Respons), Edward Thorndike (dengan teorinya  Law of Efect),
dan B.F. Skinner dengan teorinya yang disebut operant conditioning.
1Fajar S / mahasiswa pgsd uns
1. Teori Pengkondisian Klasik Ivan Pavlov
Ivan Petrovich Pavlov adalah orang Rusia. Ia menemukan Classical Conditioning
di  dekade 1890-an.  Namun karena  pada saat  itu negerinya  tertutup dari  dunia  barat,
bukunya  dalam edisi  bahasa  Inggris  Conditioned  Reflexes:  An  Investigation  of  the
Physiological Activity of the Cerebral Cortex baru bisa diterbitkan tahun 1927. Teorinya
disebut  klasik karena kemudian muncul  teori  conditioning yang lebih baru.  Ada pula
yang  menyebut  teorinya  sebagai  learned  reflexes atau  refleks  karena  latihan,  untuk
membedakan teorinya dengan teori pengkondisian disadari-nya Skinner. 
a. Percobaan Pavlov
Pengkondisian Klasik atau Classical  conditioning ditemukan  secara  kebetulan
oleh Pavlov di dekade 1890-an. Saat itu Pavlov sedang mempelajari bagaimana air liur
membantu proses pencernaan makanan. Kegiatannya antara lain memberi makan  anjing
eksperimen dan mengukur  volume  produksi  air  liur  anjing tersebut  di  waktu makan.
Setelah  anjing  tersebut  melalui  prosedur  yang  sama  beberapa  kali,  ternyata  mulai
mengeluarkan  air  liur  sebelum  menerima  makanan.  Pavlov  menyimpulkan  bahwa
beberapa stimulus baru seperti pakaian peneliti yang serba putih, telah diasosiasikan oleh
anjing tersebut dengan makanan sehingga menimbulkan respons keluarnya air liur. 
Proses  conditioning biasanya  mengikuti  prosedur  umum yang sama.  Misalkan
seorang pakar psikologi ingin mengkondisikan seekor anjing untuk mengeluarkan air liur
ketika mendengar  bunyi  lonceng.  Sebelum conditioning,  stimulus tanpa pengkondisian
(makanan  dalam mulut)  secara  otomatis  menghasilkan  respons  tanpa  pengkondisian
(mengeluarkan  air  liur)  dari  anjing  tersebut.  Selama  pengkondisian,  peneliti
membunyikan lonceng dan kemudian memberikan makanan pada anjing tersebut. Bunyi
lonceng tersebut disebut stimulus netral karena pada awalnya tidak menyebabkan anjing
tersebut mengeluarkan air liur.  Namun, setelah peneliti mengulang-ulang asosiasi bunyi
lonceng-makanan,  bunyi  lonceng tanpa disertai makanan akhirnya menyebabkan anjing
tersebut  mengeluarkan  air  liur.  Anjing  tersebut  telah  belajar  mengasosiasikan  bunyi
lonceng dengan makanan.  Bunyi  lonceng menjadi  stimulus dengan pengkondisian,  dan
keluarnya air liur anjing disebut respons dengan pengkondisian.
2Fajar S / mahasiswa pgsd uns
b. Prinsip-prinsip Pengkondisian Klasik Pavlov
Menindaklanjuti  temuannya  sebelumnya,  Pavlov  dan  koleganya  berhasil
mengidentifikasi  empat  proses:  acquisition (akuisisi/fase  dengan  pengkondisian),
extinction (eliminasi/fase  tanpa  pengkondisian),  generalization  (generalisasi),  dan
discrimination (diskriminasi).
1) Fase Akuisisi
Fase akuisisi  merupakan fase belajar  permulaan dari  respons  kondisi—sebagai
contoh,  anjing  ‘belajar’  mengeluarkan  air  liur  karena  pengkondisian  suara  lonceng.
Beberapa faktor dapat mempengaruhi kecepatan conditioning selama fase akuisisi. Faktor
yang paling penting adalah urutan dan waktu stimuli.  Conditioning terjadi paling cepat
ketika stimulus kondisi (suara lonceng) mendahului  stimulus utama (makanan)  dengan
selang waktu setengah detik.  Conditioning memerlukan waktu lebih lama dan respons
yang terjadi lebih lemah bila dilakukan penundaan yang lama antara pemberian stimulus
kondisi dengan stimulus utama. Jika stimulus kondisi mengikuti stimulus utama—sebagai
contoh, jika anjing menerima makanan sebelum lonceng berbunyi—conditioning jarang
terjadi.
2) Fase Eliminasi
Sekali  telah dipelajari,  suatu respons dengan kondisi  tidaklah diperlukan secara
permanen.  Istilah extinction (eliminasi) digunakan untuk menjelaskan eliminasi respons
kondisi  dengan mengulang-ulang stimulus  kondisi  tanpa  stimulus  utama.  Jika  seekor
anjing telah ‘belajar’ mengeluarkan air liur karena adanya suara lonceng, peneliti dapat
secara berangsur-angsur menghilangkan stimulus utama dengan mengulang-ulang bunyi
lonceng tanpa memberikan makanan sesudahnya. 
3) Generalisasi
Setelah seekor hewan telah ‘belajar’ respons kondisi  dengan satu stimulus,  ada
kemungkinan juga ia merespons stimuli yang sama tanpa latihan lanjutan. Jika seorang
anak digigit  oleh seekor  anjing hitam besar,  anak tersebut  bukan hanya  takut  kepada
3Fajar S / mahasiswa pgsd uns
anjing tersebut, namun juga takut kepada anjing yang lebih besar. Fenomena ini disebut
generalisasi. Stimuli yang kurang intens biasanya menyebabkan generalisasi yang kurang
intens.  Sebagai  contoh,  anak tersebut  ketakutannya menjadi  berkurang terhadap anjing
yang lebih kecil.   
4) Diskriminasi
Kebalikan dari  generalisasi  adalah diskriminasi,  yaitu  ketika  seorang individu
belajar menghasilkan respons kondisi pada satu stimulus namun tidak dari stimulus yang
sama namun kondisinya berbeda. Sebagai contoh, seorang anak memperlihatkan respons
takut  pada anjing galak yang bebas,  namun mungkin memperlihatkan rasa tidak takut
ketika seekor anjing galak diikat atau terkurung dalam kandang. 
2. Teori Stimulus-Respons John Watson
Pada tahun 1919, pakar psikologi berkebangsaan AS, J.B. Watson dalam bukunya
Psychology from the Standpoint of a Behaviorist mengkritisi metode introspektif dalam
pakar psikologi yaitu metode yang hanya memusatkan perhatian pada perilaku yang ada
atau berasal dari nilai-nilai dalam diri pakar psikologi itu sendiri. 
Watson  berprinsip  hanya  menggunakan  eksperimen  sebagai  metode  untuk
mempelajari  kesadaran.  Watson  mempelajari  penyesuaian  organisme  terhadap
lingkungannya,  khususnya  stimuli  khusus  yang  menyebabkan  organisme  tersebut
memberikan  respons.  Kebanyakan  dari  karya-karya  Watson  adalah  komparatif  yaitu
membandingkan perilaku berbagai  binatang.  Karya-karyanya sangat  dipengaruhi  karya
Ivan Pavlov.  Namun pendekatan Watson lebih menekankan pada peran stimuli  dalam
menghasilkan  respons  karena  pengkondisian,  mengasimilasikan  sebagian  besar  atau
seluruh fungsi dari refleks. Karena itulah, Watson dijuluki sebagai pakar psikologi S - R
(stimulus-response). 
a. Percobaan John Watson
Pada  dasarnya  Watson  melanjutkan  penelitian  Pavlov.  Dalam percobaannya,
Watson ingin menerapkan classical conditioning pada reaksi emosional. Hal ini didasari
4Fajar S / mahasiswa pgsd uns
atas  keyakinannya  bahwa  personalitas  seseorang  berkembang  melalui  pengkondisian
berbagai refleks.
Dalam suatu percobaan yang kontroversial  di  tahun 1921,  Watson dan asisten
risetnya Rosalie Rayner melakukan eksperimen terhadap seorang balita bernama Albert.
Pada awal eksperimen, balita tersebut tidak takut terhadap tikus. Ketika balita memegang
tikus,  Watson  mengeluarkan  suara  dengan  tiba-tiba  dan  keras.  Balita  menjadi  takut
dengan suara yang tiba-tiba dan keras sekaligus takut terhadap tikus. Akhirnya, tanpa ada
suara keras sekalipun, balita menjadi takut terhadap tikus. 
b. Kesimpulan Watson.
Meskipun eksperimen Watson dan rekannya secara etika dipertanyakan, hasilnya
menunjukkan untuk pertamakalinya bahwa manusia dapat ‘belajar’ takut terhadap stimuli
yang sesungguhnya tidak menakutkan. Namun ketika stimuli tersebut berasosiasi dengan
pengalaman  yang  tidak  menyenangkan,  ternyata  menjadi  menakutkan.  Eksperimen
tersebut juga menunjukkan bahwa classical conditioning mengakibatkan  beberapa kasus
fobia  (rasa  takut),  yaitu  ketakutan  yang  yang tidak rasional  dan berlebihan  terhadap
objek-objek  tertentu  atau  situasi-situasi  tertentu.  Pakar  psikologi  sekarang  dapat
memahami bahwa classical conditioning dapat menjelaskan beberapa respons emosional
—seperti  kebahagiaan,  kesukaan,  kemarahan,  dan  kecemasan—yaitu  karena  orang
tersebut  mengalami  stimuli  khusus.  Sebagai  contoh,  seorang  anak  yang  memiliki
pengalaman  menyenangkan  dengan  roller  coaster kemungkinan  belajar  merasakan
kesenangan justru karena melihat  bentuk roller  coaster  tersebut.  Bagi  seorang dewasa
yang menemukan sepucuk surat  dari  teman dekat  di  dalam kotak surat,  hanya dengan
melihat  alamat  pengirim yang  tertera  di  sampul  surat  kemungkinan  menimbulkan
perasaan senang dan hangatnya persahabatan.  
Pakar  psikologi  menggunakan  prosedur  classical  conditioning untuk  merawat
fobia (rasa takut) dan perilaku yang tidak diinginkan lainnya seperti kecanduan alkohol
dan psikotropika.  Untuk merawat  fobia terhadap objek-objek tertentu,  pakar  psikologi
melakukan  terapi  dengan  menghadirkan  objek  yang  ditakuti  oleh  penderita  secara
berangsur-angsur dan berulang-ulang ketika penderita dalam suasana santai. Melalui fase
eliminasi (eliminasi stimulus kondisi), penderita akan kehilangan rasa takutnya terhadap
5Fajar S / mahasiswa pgsd uns
objek  tersebut.  Dalam  memberikan  perawatan  untuk  pecandu  alkohol,  penderita
meminum minuman  beralkohol  dan  kemudian  menenggak  minuman  keras  tersebut
sehingga menyebabkan rasa sakit  di  lambung.  Akhirnya  ia  merasakan sakit  lambung
begitu melihat  atau mencium bau alkohol  dan berhenti  meminumnya.  Keefektivan dari
terapi  seperti  ini  sangat  bervariasi  bergantung  individunya  dan  problematika  yang
dihadapinya. 
3. Hukum Efek dan Teori Koneksionisme Edward Thorndike
Edward Lee Thorndike adalah pakar psikologi yang menjadi dosen di Columbia
University AS.  Dalam bukunya  Animal  Intelligence (1911)  ia menyatakan tidak suka
pada  pendapat  bahwa  hewan  memecahkan  masalah  dengan  nalurinya.  Ia  justru
berpendapat bahwa hewan juga memliki kecerdasan. Beberapa eksperimennya ditujukan
untuk  mendukung  gagasannya  tersebut,  yang  kemudian  ternyata  merupakan  awal
munculnya operant conditioning (pengkondisian yang disadari). 
Prinsip yang dikembangkannya disebut hukum efek karena adanya konsekuensi
atau  efek  dari  suatu  perilaku.   Sementara,  teorinya  disebut  koneksionisme  untuk
menunjukkan  adanya  koneksi  (keterkaitan)  antara  stimuli  tertentu  dan  perilaku  yang
disadari. 
a. Pecobaan Thorndike
Subjek riset Thorndike termasuk kucing, anjing, ikan, kera, dan anak ayam. Untuk
melihat bagaimana hewan belajar perilaku yang baru, Thorndike menggunakan ruangan
kecil yang ia sebut  puzzle box (kotak teka-teki), dan jika hewan itu melakukan respons
yang  benar  (seperti  menarik  tali,  mendorong tuas,  atau mendaki  tangga),  pintu akan
terbuka dan hewan tersebut  akan diberi  hadiah makanan yang diletakkan tepat  di  luar
kotak. 
Ketika pertama kali  hewan memasuki  kotak teka-teki,  memerlukan waktu lama
untuk dapat  memberi  respons  yang dibutuhkan agar  pintu terbuka.  Namun demikian,
pada  akhirnya  hewan  tersebut  dapat  melakukan  respons  yang  benar  dan  menerima
hadiahnya: lolos dan makanan. 
6Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Ketika  Thorndike  memasukkan  hewan  yang  sama  ke  kotak  teka-teki  secara
berulang-ulang,  hewan  tersebut  akan  melakukan  respons  yang  benar  semakin  cepat.
Dalam waktu singkat, hewan-hewan tersebut hanya membutuhkan waktu beberapa detik
untuk lolos dan mendapatkan hadiah. 
b. Kesimpulan Thorndike
Thorndike  menggunakan  'kurva  waktu  belajar'  tersebut  untuk  membuktikan
bahwa hewan tersebut bukan menggunakan nalurinya untuk dapat lolos dan mendapatkan
hadiah dari  kotak,  namun melalui  proses  trial  and error (mencoba-salah-mencoba lagi
sampai benar). 
Thorndike  menjelaskan  ada  perbedaan  yang  jelas  apakah  hewan  dalam
eksperimen tersebut agar dapat lolos dari kotak menggunakan naluri atau tidak. Caranya
yaitu dengan mencatat waktu yang digunakan hewan untuk dapat lolos. Logikanya, jika
hewan menggunakan naluri  maka  ia akan dapat  langsung lolos  begitu saja,  sehingga
catatan waktunya tidak menunjukkan perubahan dari waktu ke waktu secara gradual yang
signifikan.  Kenyataannya,  hewan menggunakan cara yang biasa disebut trial and error
dengan bukti  kurva waktu yang menurun secara gradual.  Hal  ini  menunjukkan hewan
dapat 'belajar' secara gradual dan konsisten.
Didasarkan atas eksperimennya, Thorndike mengemukakan prinsip yang ia sebut
hukum  efek.  Hukum  ini  menyatakan  bahwa  perilaku  yang  diikuti  kejadian  yang
menyenangkan,  lebih  cenderung  akan  terjadi  lagi  di  masa  mendatang.  Sebaliknya,
perilaku yang diikuti  kejadian yang tidak menyenangkan akan memperlemah,  sehingga
cenderung tidak terjadi lagi di masa mendatang. 
Thorndike menginterpretasikan temuannya sebagai  keterkaiatan.  Ia menjelaskan
bahwa keterkaitan antara kotak dan gerakan yang digunakan hewan percobaan untuk
lolos  'diperkuat'  setiap  kali  berhasil.  Karena  adanya  keterkaitan  ini,  banyak  yang
menyebut  hukum efek  Thorndike  menjadi  teori  koneksionisme,  yang  oleh  Skinner
dikembangkan lagi menjadi operant conditioning (pengkondisian yang disadari).
4. Pengkondisian Disadari B.F. Skinner
7Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Burrhus Frederic "B. F." Skinner adalah pakar psikologi yang lahir di pedesaan.
Bercita-cita  menjadi  seorang penulis  fiksi,  ia  pernah secara  intensif  berlatih menulis.
Namun pada akhirnya ia menyadari  bahwa dirinya tidak memiliki  bakat tersebut.  Pada
suatu saat  secara kebetulan ia membaca buku yang mengulas tentang behaviorismenya
Watson.  Ketertarikannya  terhadap  Psikologi  pun  berlanjut,  sehingga  ia  memutuskan
untuk belajar  Psikologi  di  Harvard University (AS) dan memperoleh gelar  Ph.D.  pada
tahun 1931. Setelah dua kali pindah mengajar di dua universitas, Ia kembali mengajar di
almamaternya hingga menjadi profesor di tahun 1948.
Skinner menjadi terkenal karena kepeloporannya melakukan riset terhadap belajar
dan perilaku.  Selama 60 tahun karirnya,  Skinner menemukan berbagai  prinsip penting
dari  operant conditioning,  suatu tipe belajar yang melibatkan penguatan dan hukuman.
Sebagai  seorang  behavioris  sejati,  Skinner  yakin  bahwa  operant  conditioning dapat
menjelaskan  bahkan  perilaku  manusia  yang  paling  kompleks  sekalipun.  Pada
kenyataannya,  Skinner  lah  memang  yang  pertama  kali  memberi  istilah  operant
conditioning.
Terkenalnya  Skinner  bukan  hanya  risetnya  dengan  binatang,  tetapi  juga
pengakuan  kontroversialnya  bahwa  prinsip-prinsip  belajar  yang  ia  temukan  dengan
menggunakan  kotaknya  juga  dapat  diterapkan  untuk  perilaku  manusia  dalam
kehidupannya sehari-hari. 
a. Percobaan Skinner
Diawali  di  tahun 1930-an,  Skinner  menghabiskan waktu beberapa  dasa  warsa
mempelajari  perilaku—kebanyakan  tikus  atau merpati—di  dalam ruangan kecil  yang
kemudian  disebut  kotak  Skinner.  Seperti  kotak  teka-teki  Thorndike,  kotak  Skinner
berupa ruangan kosong tempat  hewan dapat  memperoleh makanan dengan melakukan
respons sederhana,  seperti menekan  atau memutar tuas. Sebuah alat yang diletakkan di
dalam kotak merekam semua yang dilakukan hewan tersebut.  Kotak Skinner  berbeda
dengan kotak teka-teki Thorndike dalam tiga hal: (1) dalam mengerjakan respons yang
diinginkan,  hewan  tersebut  menerima  makanan  namun  tidak  keluar  dari  kotak;  (2)
persediaan makanan di dalam kotak hanya cukup untuk setiap respons, sehingga penguat
hanya diberikan untuk satu sesi tes;  dan  (3)  operant response (respons yang disadari)